TUGAS SOFTSKILL
NAMA : YULIANAWATI
NPM : 17211646
KELAS : 4EA21
ETIKA KEILMUWAN
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata),
etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau
adat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia etika berarti ilmu pengetahuan tentang
asas-asas akhlak (moral). Sedangkan etika menurut filsafat dapat disebut
sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan
memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal
pikiran. Pada dasarnya,etika membahasa tentang tingkah laku manusia.
Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang
sama bagi seluruh manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku
yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan
tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena
pandangan masing-masing golongan dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai
ukuran (kriteria) yang berlainan.
Secara metodologi, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat
dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis
dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai
suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda
dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki
sudut pandang normatif, yaitu melihat perbuatan manusia dari sudut baik dan
buruk .
1.
A. Pengertian Etika Keilmuwan
Etika berasal dari dari kata Yunani ‘Ethos’ (jamak – ta etha), berarti
adat istiadat. Etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri
seseorang maupun pada suatu masyarakat. Etika berkaitan dengan nilai-nilai,
tatacara hidup yg baik, aturan hidup yg baik dan segala kebiasaan yg dianut dan
diwariskan dari satu orang ke orang yang lain atau dari satu generasi ke
generasi yg lain.
Dalam konteks etika sebagai filsafat dan ilmu pengetahuan ini,
perlu dilakukan pemisahan antara etika dan moral. Yaitu bahwa etika adalah ilmu
pengetahuan, sedangkan moral adalah obyek ilmu pengetahuan tersebut.
·
Etika secara umum dapat dibagi menjadi:
a) Etika Umum, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar
bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan
etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan
bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya
suatu tindakan. Etika umum dapat di analogkan dengan ilmu pengetahuan, yang
membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.
b) Etika Khusus, merupakan penerapan prinsip-prinsip
moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud :
Bagaimana saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan
kegiatan khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip
moral dasar. Namun, penerapan itu dapat juga berwujud : Bagaimana saya menilai
perilaku saya dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang
dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis. Cara
bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tidanakn, dan teori serta
prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.
·
Etika Khusus dibagi lagi menjadi dua bagian:
1) Etika individual, yaitu menyangkut
kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
2) Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban,
sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.
1.
B. Problem Etika Keilmuwan
Peranan moral akan
sangat kentara ketika perkembangan ilmu terjadi pada saat tahap peralihan dari
kontemplasi ke tahap manipulasi. Pada tahap kontemplasi, masalah moral
berkaitan dengan metafisik keilmuan, sedangkan pada tahap manipulasi masalah
moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah itu sendiri. Dengan
kata lain ketika ilmu dihadapkan pada kenyataan, maka yang dibicarakan adakah
tentang aksiologi keilmuan.
Sebelum menentukan sejauh mana peran moral dalam penggunaan ilmu
atau teknologi, ada dua kelompok yang memandang hubungan antara ilmu dan moral.
Kelompok pertama, memandang bahwa ilmu itu harus bersifat netral, bebas dari
nilai-nilai ontologi dan aksiologi. Dalam hal ini, fungsi ilmuwan adalah
menemukan pengetahuan selanjutnya terserah kepada orang lain untuk
mempergunakan untuk tujuan baik atau buruk. Kelompok pertama ini ingin melanjutkan
tradisi kenetralannya secara total seperti pada waktu Galileo. Kelompok kedua,
berpendapat bahwa kenetralan terhadap nilai hanyalah terbatas pada metafisik
keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian,
kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Hal ini ditegaskan oleh
Charles Darwin bahwa kesadaran kita akan moral dalam penggunakan ilmu kita
sejogyanya menggunakan pikiran kita .
Analisa perkembangan selanjutnya dengan apa yang sudah terjadi,
kelompok yang mengedepankan nilai moral mengkhawatrirkan terjadinya
de-humanisasi, di mana martabat manusia menjadi lebih rendah, manusia akan
dijadikan obyek aplikasi teknologi kelimuan. Hal ini berkaitan peristiwa yang
terjadi selama ini, yaitu : (1) Secara faktual telah dipergunakan secara
destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya Perang Dunia II. (2) Ilmu
telah berkembang dengan pesat dan sangat esoterik (hanya diketahui oleh
orang-orang tertentu saja) sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui ekses-ekses
yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan. (3) Ilmu telah berkembang
sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia
dan kemanusiaannya yang paling hakiki seperti pada revolusi genetika dan teknik
perubahan sosial.
Persoalan baru yang muncul saat menerapkan nilai moral ialah
konflik yang menimbulkan dilema nurani mana yang baik, benar, yang mana yang
tidak dan mana yang selayaknya. Disinilah, etika memainkan peranannya, etika
berkaitan dengan “apa yang seharusnya” atau terkait dengan apa yang baik dan
tidak baik untuk kita lakukan serta apa yang salah dan apa yang benar. Menurut
J.Osdar, oleh filsuf Yunani kuno, Aristoteles, kata etika dipakai untuk
menunjukkan filsafat moral. Kata moral punya arti sama dengan kosakata etika.
Kata moral berasal dari bahasa Latin, yakni mos (jamaknya mores). Artinya
kebiasaan, adat. Di sini kata moral dan etika punya arti sama.
Dari pemahaman tersebut, maka etika menjadi acuan atau panduan
bagi ilmu dalam realisasi pengembangannya. Untuk mengatasi konflik batin
dikemukakan teori-teori etika yang bermaksud untuk menyediakan konsistensi dan
koheren dalam mengambil keputusan–keputusan moral. Teori–teori etika tersebut
adalah :
1.
Konsekuensialisme. Teori ini menjawab “apa yang harus kita
lakukan”, dengan memandang konsekuensi dari bebagai jawaban. Ini berarti bahwa
yang harus dianggap etis adalah konsekuensi yang membawa paling banyak hal yang
menguntungkan, melebihi segala hal merugikan, atau yang mengakibatkan kebaikan
terbesar bagi jumlah orang terbesar. Manfaat paling besar daru teori ini adalah
bahwa teori ini sangat memperhatikan dampak aktual sebuah keputusan tertentu
dan memperhatikan bagaimana orang terpengaruh. Kelemahan dari teori ini bahwa
lingkungan tidak menyediakan standar untuk mengukur hasilnya.
2.
Deontologi, berasal dari kata Yunani deon yang berarti
“kewajiban”. Teori ini menganut bahwa kewajiban dalam menentukan apakah
tindakannya bersifat etis atau tidak, dijawab dengan kewajiban-kewajiban moral.
Suatu perbuatan bersifat etis, bila memenuhi kewajiban atau berpegang pada
tanggungjawab, Jadi yang paling penting adalah kewajiban-kewajiban atau
aturan-aturan, karena hanya dengan memperhatikan segi-segi moralitas ini
dipastikan tidak akan menyalahkan moral. Manfaat paling besar yang dibawakan oleh
etika deontologis adalah kejelasan dan kepastian. Problem terbesar adalah bahwa
deontologi tidak peka terhadap konsekuensi-konsekuensi perbuatan. Dengan hanya
berfokus pada kewajiban, barangkali orang tidak melihat beberapa aspek penting
sebuah problem.
3.
Etika Hak. Teori ini memandang dengan menentukan hak dan
tuntutan moral yang ada didalamnya, selanjutnya dilema-dilema ini dipecahkan
dengan hirarkhi hak. Yang penting dalam hal ini adalah tuntutan moral seseorang
yaitu haknya ditanggapi dengan sungguh-sungguh. Teori hak ini pantas dihargai
terutama karena terkanannya pada nilai moral seorang manusia dan tuntutan
moralnya dalam suatu situasi konflik etis. Selain itu teori ini juga
menjelaskan bagiaman konflik hak antar individu. Teori ini menempatkan hak individu
dalam pusat perhatian yang menerangkan bagaimana memecahklan konflik hak yang
bisa timbul.
4.
Intuisionisme, teori ini berusaha memecahkan dilema-dilema etis
dengan berpijak pada intuisi, yaitu kemungkinan yang dimiliki seseorang untuk
mengetahui secara langsung apakah sesuatu baik atau buruk. Dengan demikian
seorang intuisionis mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk berdasarkan
perasaan moralnya, bukan berdasarkan situasi, kewajiban atau hak. Dengan
intuisi kita dapat meramalkan kemungkinan-kemunginan yang terjadi tetapi kita
tidak dapat mempertanggungjawabkan keputusan tersebut karena kita tidak dapat
menjelaskan proses pengambilan keputusan.
Etika menjadi acuan bagi pengembangan ilmu pengetahuan karena
penghormatan atas manusia. Sebagaimana dikemukakan, fisuf Jerman, Imanuel Kant,
penghormatan kepada martabat manusia adalah suatu keharusan karena manusia
adalah satu-satunya makhluk yang merupakan tujuan pada dirinya, tidak boleh
ditaklukkan untuk tujuan lain.
Ø Problematika Etika dan
Tanggungjawab Ilmu Pengetahuan
Kenyataan bahwa ilmu
pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai-nilai yang letaknya diluar
ilmu pengetahuan, dapat diungkapkan juga dengan rumusan singkat bahwa
ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas. Namun demikian jelaslah kiranya bahwa
kebebasan yang dituntut ilmu pengetahuan sekali-kali tidak sama dengan
ketidakterikatan mutlak. Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh
terpengaruh oleh nilai-nilai yang letaknya di luar ilmu pengetahuan , dapat
diungkapkan juga dengan rumusan singkat bahwa ilmu pengetahuan itu seharusnya
bebas . Patutlah kita menyelidiki lebih lajut bagaimana kebebasan ini.
Bila kata “kebebasan” dipakai, yang dimaksudkan adalah dua hal:
kemungkinan untuk memilih dan kemampuan atau hak subjek bersangkutan untuk
memilih sendiri. Supaya terdapat kebebasan, harus ada penentuan sendiri dan
bukan penentuan dari luar. Etika memang tidak masuk dalam kawasan ilmu
pengetahuan yang bersifat otonom, tetapi tidak dapat disangkal ia berperan
dalam perbincangan ilmu pengetahuan.
Tanggungjawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan
maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan
untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan
ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan umum, kepentingan pada generasi
mendatang, dan bersifat universal . Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan
adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk
menghancurkan eksistensi manusia.
Tanggungjawab etis ini bukanlah berkehendak mencampuri atau
bahkan “menghancurkan” otonomi ilmu pengetahuan, tetapi bahkan dapat sebagai
umpan balik bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang sekaligus akan
memperkokoh eksistensi manusia.
Pada prinsipnya ilmu pengetahuan tidak dapat dan tidak perlu di
cegah perkembangannya, karena sudah jamaknya manusia ingin lebih baik, lebih
nyaman, lebih lama dalam menikmati hidupnya. Apalagi kalau melihat kenyataan
bahwa manusia sekarang
hidup dalam kondisi sosio-tekhnik yang semakin kompleks.
Khususnya ilmu pengetahuan – berbentuk tekhnologi – pada masa sekarang tidak
lagi sekedar memenuhi kebutuhan manusia, tetapi sudah sampai ketaraf memenuhi
keinginan manusia. Sehingga seolah-olah sekarang ini tekhnologilah yang
menguasai manusia bukan sebaliknya
Kita yakin adanya kenyataan bahwa antara ilmu pengetahuan
theoria dengan penerapan praksisnya sukar sekali dipisahkan. Tetapi jelas
karena sudah menyangkut relasi antar manusia yang bersifat nyata, dan bukan
sekedar perbincangan teoritik “awang-awang” harus dikendalikan secara moral.
Sebab ilmu pengetahuan dan penerapannya yang – yang berupa tekhnologi – apabila
tidak tepat dalam mewujudkan nilai intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja
manusia akan dapat menimbulkan ketidakadilan karena ada yang diuntungkan dan
ada yang dirugikan, pengurangan kualitas manusia karena martabat manusia justru
direndahkan dengan menjadi budak teknologi, kerisauan social yang mungkin
sekali dapat memicu terjadinya penyakit sosial seperti meningkatnya tingkat
kriminalitas, penggunaan obat bius yang tak terkendali, pelacuran dan
sebagainya. Terjadi pula fenomena depersonalisasi, dehumanisasi, karena manusia
kehilangan peran dan fungsinya sebagai makhluk spiritual. Bahkan dapat memicu
konflik-konflik sosial- politik, karena menguasai ilmu pengetahuan (tekhnologi)
dapat memperkuat posisi politik atau sebaliknya orang yang berebut posisi
politik agar dapat menguasai aset ilmu dan tekhnologi. Semuanya mengisyaratkan
pentingnya etika yang mengatur keseimbangan antar ilmu pengetahuan dengan
manusia, antara manusia dengan lingkungan, antara industriawan selaku produsen
dengan konsumen. Dalam bahasa Jacob lebih lanjut dikatakan bahwa ilu
pengetahuan jangan sampai merugikan manusia dan lingkungan serta tidak boleh
menimbulkan konflik internal maupun politik.
Tanggungjawab ilmu pengetahuan menyangkut juga tanggungjawab
terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dimasa lalu,
sekarang, maupun apa akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan-keputusan
bebas manusia dalam kegiatannya. Penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan
terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan baik alam maupun manusia. Hal
ini tentu saja menuntut tanggungjawab untuk selalu menjaga agar apa yang
diwujudkan dalam perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang baik, yang
seharusnya ; baik bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi itu sendiri
maupun bagi perkembangan eksisitensi manusia secara utuh. Dalam bahasa Melsen :
Tanggungjawab dalam ilmu pengetahuan menyangkut problem etis karena menyangkut
ketegangan-ketegangan antara realitas yang ada dan realitas yang seharusnya
ada.
Ilmu pengetahuan secara ideal seharusnya berguna dalam dua hal
yaitu membuat manusia rendah hati karena memberikan kejelasan tentang jagad
raya, kedua mengingatkan bahwa kita masih bodoh dan masih banyak yang harus
diketahui dan dipelajari. Ilmu pengetahuan tidak mengenal batas, asalkan
manusia sendiri yang menyadari keterbatasannya. Ilmu pengetahuan tidak dapat
menyelesaikan masalah manusia secara mutlak, namun ilmu pengetahuan sangat
bergua bagi manusia.
Keterbatasan ilmu pengetahuan mengingatkan kepada manusia untuk tidak hanya mengekor secara membabi buta kearah yang tak dapat dipanduinya, sebab ilmu pengetahuan saja tidak cukup dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang amat rumit ini. Keterbatasan ilmu pengetahuan membuat manusia harus berhenti sejenak untuk merenungkan adanya sesuatu sebagai pegangan.
Keterbatasan ilmu pengetahuan mengingatkan kepada manusia untuk tidak hanya mengekor secara membabi buta kearah yang tak dapat dipanduinya, sebab ilmu pengetahuan saja tidak cukup dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang amat rumit ini. Keterbatasan ilmu pengetahuan membuat manusia harus berhenti sejenak untuk merenungkan adanya sesuatu sebagai pegangan.
Kemajuan ilmu pengetahuan, dengan demikian, memerlukan visi
moral yang tepat. Manusia dengan ilmu pengetahuan akan mampu untuk berbuat apa
saja yang diinginkannya, namun pertimbangan tidak hanya sampai pada “apa yang
dapat diperbuat” olehnya tetapi perlu pertimbangan “apakah memang harus
diperbuat dan apa yang seharusnya diperbuat” dalam rangka kedewasaan manusia
yang utuh. Pada dasarnya mengupayakan rumusan konsep etika dalam ilmu
pengetahuan harus sampai kepada rumusan normatif yang berupa pedoman pengarah
konkret, bagaimana keputusan tindakan manusia dibidang ilmu pengetahuan harus
dilakukan. Moralitas sering dipandang banyak orang sebagai konsep abstrak yang
akan mendapatkan kesulitan apabila harus diterapkan begitu saja terhadap
masalah manusia konkret. Realitas permasalahan manusia yang bersifat
konkret-empirik seolah-olah mempunyai “kekuasaan” untuk memaksa rumusan moral
sebagai konsep abstrak menjabarkan kriteria-kriteria baik buruknya sehingga
menjadi konsep normatif, secara nyata sesuai dengan daerah yang ditanganinya.
Dewasa ini pengetahuan dan perbuatan, ilmu dan etika saling
bertautan. Tidak ada pengetahuan yang pada akhirnya tidak terbentur pertanyaan,
“apakah sesuatu itu baik atau jahat”. “Apa” yang dikejar oleh pengetahuan,
menjelma menjadi “Bagaimana” dari etika. Etika dalam hal ini dapat diterangkan
sebagai suatu penilaian yang memperbincangkan bagaimana tekhnik yang mengelola
kelakuan manusia. Dengan demikian lapangan yang dinilai oleh etika jauh lebih
luas daripada sejumlah kaidah dari perorangan, mengenai yang halal dan yang
haram. Tetapi berkembag menjadi sesuatu etika makro yang mampu merencanakan
masyarakat sedemikian rupa sehingga manusia dapat belajar
mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang dibangkitkannya sendiri.
Terkait dengan keterbukaan yang disebutkan diatas, maka etika
hanya menyebut peraturan-peraturan yang tidak pernah berubah, melainkan secara
kritis mengajukan pertanyaan, bagaimana manusia bertanggungjawab terhadap
hasil-hasil tekhnologi moderen dan rekayasanya. Etika semacam itu tentu saja
harus membuktikan kemampuannya menyelesaikan masalah manusia konkret. Tidak lagi
sekedar memberikan isyarat dan pedoman umum, melainkan langsung melibatkan diri
dalam peristiwa aktual dan factual manusia, sehingga terjadi hubungan timbale
balik dengan apa yang sebenarnya terjadi. Etika seperti itu berdasarkan
“interaksi” antara keadaan etika sendiri dengan masalah-masalah yang
mem-“bumi”.
C. Ilmu Bebas Nilai atau Tidak Bebas
Nilai
Bebas nilai merupakan tuntutan agar ilmu pengetahuan
dikembangkan hanya demi ilmu pengetahuan dan karena itu ilmu pengetahuan tidak
boleh dikembangkan dengan didasarkan pada pertimbangan lain di luar ilmu
pengetahuan.
Namun tuntutan bebas nilai ini tidak mutlak karena tuntutan ini hanya berlaku bagi nilai lain di luar nilai yang menjadi taruhan utama dan perjuangan ilmu pengetahuan bahwa ilmu pengetahuan harus tetap peduli akan nilai kebenaran dan kejujuran.
Namun tuntutan bebas nilai ini tidak mutlak karena tuntutan ini hanya berlaku bagi nilai lain di luar nilai yang menjadi taruhan utama dan perjuangan ilmu pengetahuan bahwa ilmu pengetahuan harus tetap peduli akan nilai kebenaran dan kejujuran.
Ø Teori Tentang Nilai
Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan
sebuah polemik baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa
kita sebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis
pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal
sebagai value baound. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas
pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai?
Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan
perkembangan ilmu pengetahuan akan lebih cepat terjadi. Karena ketiadaan
hambatan dalam melakukan penelitian. Baik dalam memilih objek penelitian, cara
yang digunakan maupun penggunaan produk penelitian.
Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat,
perkembangan pengetahuan akan terjadi sebaliknya. karena dibatasinya objek
penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai. Kendati demikian paham pengetahuan
yang disandarkan pada teori bebas nilai ternyata melahirkan sebuah permasalahan
baru. Dari yang tadinya menciptakan pengetahuan sebagai sarana membantu
manusia, ternyata kemudian penemuannya tersebut justru menambah masalah bagi
manusia. Meminjam istilah carl Gustav Jung “bukan lagi Goethe yang melahirkan
Faust melainkan Faust-lah yang melahirkan Goethe”.
Ø ILMU, Antara Bebas
atau Terikat Nilai
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarahnya tidak selalu
melalui logika penemuan yang didasarkan pada metodologi objektivisme yang
ketat. Ide baru bisa saja muncul berupa kilatan intuisi atau refleksi religius,
di mana netralitas ilmu pengetahuan kemudian rentan permasalahan di luar
objeknya. Yaitu terikat dengan nilai subjektifitasnya seperti hal yang berbau
mitologi. Dengan demikian netralitas ilmu semakin dipertanyakan.
Setiap buah pikiran manusia harus kembali pada aspek ontologi,
epistimologi, dan aksiologi. Hal ini sangat penting bahwa setelah tahap
ontologi dan epistimologi suatu ilmu dituntut pertanyaan yaitu tentang nilai
kegunaan ilmu (aksiologi). Dari sudut epistemologi, sains (ilmu pengetahuan)
terbagi dua, yaitu sains formal dan sains empirikal. Sains formal berada di
pikiran kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol, merupakan
implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sains formal netral karena
berada di dalam pikiran kita dan diatur oleh hukum-hukum logika. Adapun sains
empirical tidak netral. Sains empirikal merupakan wujud kongkret jagad raya
ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab akibat. Sains empirikal tidak netral
karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma yang menjadi pijakannya, dan
pijakannya itu merupakan hasil penginderaan terhadap jagad raya. Pijakan
ilmuwan tersebut tentulah nilai. Tetapi sebaliknya pada dasar ontologi dan
aksiologi bahwa ilmuwan harus menilai antara yang baik dan buruk pada suatu
objek, yang hakikatnya mengharuskan dia menentukan sikap.
Objek ilmu memiliki nilai intrinsik sementara di luar itu
terdapat nilai-nilai lain yang mempengaruhinya. Objek tidak dapat menghindari
nilai dari luar dirinya karena tidak akan dikenal sebagai ilmu pengetahuan
apabila hanya berdiri sendiri dan sibuk dengan nilainya sendiri. Dengan kata
lain ilmu bukan hanya untuk kepentingan ilmu sendiri tetapi ilmu juga untuk
kepentingan lainnya, sehingga tidak dapat diabaikan kalau ilmu terikat dengan
lainnya seperti nilai. Paradigmalah yang menentukan jenis eksperimen dilakukan
para ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang mereka ajukan, dan masalah yang
mereka anggap penting dan manfaatnya. Ketidaknetralan ilmu disebabkan karena ilmuwan
berhubungan dengan realitas bukan sebagai sesuatu yang telah ada tanpa
interpretasi, melainkan dibangun oleh skema konseptual, ideologi, permainan
bahasa, ataupun paradigma.
Di samping itu ilmu yang bebas nilai juga akan berimplikasi
lepasnya secara otomatis tanggungjawab sosial para ilmuwan terhadap masalah
negatif yang timbul, karena disibukkan dengan kegiatan keilmuan yang diyakini
sebagai bebas nilai alias tak bisa diganggu gugat. Jika ilmuwan berlepas
terhadap persoalan negatif yang ditimbulkannya, maka secara ilmiah mereka
dianggap benar. Hal yang sangat menggelikan. Seharusnya ilmuwan menerima
kebenaran yang didapat dalam penyelidikan ilmu dengan kritis. Setiap pendapat
yang dikemukakan diuji kebenarannya, itulah yang membawa kemajuan ilmu. Kelanggengannya
dapat diganti dengan penemuan yang baru. Kemudian di mana letak kenetralan
ilmu?
Dalam perkembangan ilmu sering digunakan metode trial and error,
dan sering menimbulkan permasalahan eksistensi ilmu ketika eksperimentasi
ternyata seringkali menimbulkan fatal error sehingga tuntutan nilai sangat
dibutuhkan sebagai acuan moral bagi pengembangannya. Dalam konteks ini,
eksistensi nilai dapat diwujudkan dalam visi, misi, keputusan, pedoman
perilaku, dan kebijakan moral.
Berbeda dengan ilmu yang bebas nilai, ilmu yang tidak bebas
nilai atau terikat nilai (valuebond) memandang bahwa ilmu itu selalu terkait
dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai.
Pengembangan ilmu yang terikat nilai jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai,
lepas dari kepentingan-kepentingan baik politis, ekonomis, sosial, religius,
ekologis dsb.
D. Sikap Ilmiah Yang Harus Dimiliki
Ilmuwan
Ilmu bukanlah merupakan pengetahuan yang datang demikian saja
sebagai barang yang sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi ilmu
merupakan suatu cara berpikir yang demikian dalam tentang sesuatu obyek yang
khas dengan pendekatan yang khas pula sehingga menghasilkan suatu kesimpulan
yang berupa pengeta-huan yang ilmiah. Ilmiah dalam arti bahwa sistem dn
struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan seca-ra terbuka. Disebabkan oleh
karena itu pula ia terbuka untuk diuji oleh siapapun.
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang di dalam dirinya
memiliki karakteristik kritis, rasional, logis, obyektif, dan terbuka. Hal ini
merupakan suatu keharusan bagi seorang ilmuwan untuk melakukannya. Namun selain
itu juga masalah mendasar yang dihadapi ilmuwan setelah ia membangun suatu
bangunan yang kokoh kuat adalah masalah kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia.
Memang tak dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa manusia kearah perubahan
yang cukup besar. Akan tetapi dapatkah ilmu yang kokoh, kuat, dan mendasar itu
menjadi penyelamat manusia bukan sebaliknya. Disinilah letak tang-gung jawab
seorang ilmuwan, moral dan akhlak amat diperlukan. Oleh karenanya penting bagi
para ilmuwan memiliki sikap ilmiah.
Manusia sebagai makhluk Tuhan berada bersama-sama dengan alam
dan berada di dalam alam itu. Manusia akan menemukan pribadinya dan
membudayakan dirinya bilamana manusia hidup dalam hubungannya dengan alamnya.
Manusia yang merupakan bagian alam tidak hanya merupakan bagian yang terlepas
darinya. Manusia senantiasa berintegrasi dengan alamnya. Sesuai dengan
martabatnya maka manusia yang merupakan bagian alam harus senantiasa merupakan
pusat dari alam itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa diantara manusia dengan
alam ada hubungan yang bersifat keharusan dan mutlak. Oleh sebab itulah, maka
manusia harus senantiasa menjaga keles-tarian alam dalam keseimba-ngannya yang
bersifat mutlak pula. Kewajiban ini merupakan kewajiban moral tidak saja
sebagai manusia biasa lebih-lebih seorang ilmuwan dengan senantiasa menjaga
kelesta-rian dan keseimbangan alam yang juga bersifat mutlak.
Para ilmuwan sebagai orang yang profesional dalam bidang
keilmuan sudah barang tentu mereka juga perlu memiliki visi moral yaitu moral
khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut juga
sebagai sikap ilmiah. (Abbas Hamami M., 1996, hal. 161)
Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan. Hal ini
disebabkan oleh karena sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk
mencapai suatu pengetahuan ilmiah yang bersifat obyektif. Sikap ilmiah bagi
seorang ilmuwan bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana
cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat
dipertanggungjawabkan seca-ra sosial untuk melestarikan dan keseimbangan alam
semesta ini, serta dapat dipertanggungawabkan kepada Tuhan. Artinya selaras
dengan kehendak manusia dengan kehendak Tuhan
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan menurut Abbas
Hamami M., (1996) sedikitnya ada enam , yaitu:
1.
Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), artinya suatu sikap
yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang obyektif dengan
menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi.
2.
Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para
ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap pelbagai hal yang dihadapi.
Misalnya hipotesis yang beragam, metodologi yang masing-masing menunjukkan
kekuatannya masing-masing, atau , cara penyimpulan yang satu cukup berbeda
walaupun masing-masing menunjukkan akurasinya.
3.
Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun
terhadap alat-alat indera serta budi (mind).
4.
Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan
dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang
terdahulu telah mencapai kepastian.
5.
Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu
tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada
dorongan untuk riset, dan riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya.
6.
Seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu
berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan
manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara.
Norma-norma umum bagi etika keilmuan sebagaimana yang dipaparkan
secara normatif berlaku bagi semua ilmuwan. Hal ini karena pada dasarnya
seorang ilmuwan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik,
sistem tradisi, atau apa saja yang hendak menyimpangkan tujuan ilmu. Tujuan
ilmu yang dimaksud adalah objektivitas yang berlaku secara universal dan
komunal.
Disamping sikap ilmiah berlaku secara umum tersebut, pada
kenyataannya masih ada etika keilmuan yang secara spesifik berlaku bagi
kelompok-kelompok ilmuwan tertentu. Misalnya, etika kedokteran, etika bisnis,
etika politisi, serta etika-etika profesi lainnya yang secara normatif berlaku
dan dipatuhi oleh kelompoknya itu. Taat asas dan kepatuhan terhadap norma-norma
etis yang berlaku bagi para ilmuwan diharapkan akan menghilangkan kegelisahan
serta ketakutan manu-sia terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Bahkan
diharapkan manusia akan semakin percaya pada ilmu yang membawanya pada suatu
keadaan yang membahagiakan dirinya sebagai manusia. Hal ini sudah barang tentu
jika pada diri para ilmuwan tidak ada sikap lain kecuali pencapaian
obyektivitas dan demi kemajuan ilmu untuk kemanusiaan.
Kesimpulan
Ilmu merupakan suatu cara berpikir tentang
sesuatu objek yang khas dengan pendekatan tertentusehingga menghasilkan suatu
kesimpulan yang berupa pengetahuan ilmiah. Ilmiah dalam artisistem dan struktur
ilmu dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Suatu keharusan bagiilmuwan
memiliki moral dan akhlak untuk membuat pengetahuan ilmiah menjadi
pengetahuanyang didalamnya memiliki karakteristik kritis, rasional, logis,
objektif, dan terbuka. Disampingitu, pengetahuan yang sudah dibangun harus
memberikan kegunaan bagi kehidupan manusia,menjadi penyelamat manusia, serta senantiasa
menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Disinilah letak tanggung jawab
ilmuwan untuk memiliki sikapilmiah.Para ilmuwan
sebagai profesional di bidang keilmuan tentu perlu memiliki visi moral,
yangdalam filsafat ilmu disebut sebagai sikap ilmiah, yaitu suatu sikap yang
diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif, yang
bebas dari prasangka pribadi, dapatdipertanggungjawabkan secara sosial dan
kepada Tuhan.
Adapun sikap ilmiah yang perlu dimiliki oleh para ilmuwan sedikitnya
ada enam, yaitu:
1.
Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness)
merupakan sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan
ilmiah yang objektif dan menghilangkan pamrih
1.
Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar
para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap segala sesuatu yang
dihadapi.
2.
Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun
terhadap alat-alat indera serta budi (mind).
3.
Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief)
dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang
terdahulu telah mencapai kepastian.
4.
Adanya suatu kegiatan rutin bahwa ilmuwan harus selalu
tidak puas terhadap penelitian yangtelah dilakukan, sehingga selalu ada
dorongan untuk riset. Dan riset atau penelitian merupakanaktifitas yang
menonjol dalam hidupnya.
5.
Memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk
mengembangkan ilmu bagikemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia.Secara
terminologi, etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau
perbuatanmanusia dalam hubungannya dengan baik dan buruk.
ULASAN :
Yang dapat dinilai baik dan buruk adalah sikap manusia yang
menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan, kata dan sebagainya. Dalametika
ada yang disebut etika normatif, yaitu suatu pandangan yang memberikan
penilaian baik dan buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak. Penerapan
dari ilmu membutuhkan dimensi etika sebagai pertimbangan dan yang
mempunyai pengaruh pada proses perkembangannya lebih lanjut. Tanggung
jawab etika menyangkut padakegiatan dan penggunaan ilmu. Dalam hal ini
pengembangan ilmu pengetahuan harusmemperhatikan kodrat manusia, martabat
manusia, keseimbangan ekosistem, bersifat universaldan sebagainya, karena pada
dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan danmemperkokoh eksistensi
manusia dan bukan untuk menghancurkannya. Penemuan baru dalamilmu pengetahuan
dapat mengubah suatu aturan alam maupun manusia. Hal ini menuntuttanggung jawab
etika untuk selalu menjaga agar yang diwujudkan tersebut merupakan hasil
yangterbaik bagi perkembangan ilmu dan juga eksistensi manusia secara
utuh
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/09/23/etika-keilmuan-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar